Selasa, 07 Juni 2011

PENGAKUAN KEBERADAAN KEARIFAN LOKAL LUBUK LARANGAN INDARUNG KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU DALAM PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh
Suhana,
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI Periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 Bidang Kelautan dan Perikanan, Kepala Riset pada Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM)
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (social well-being) secara berkelanjutan, terutama komunitas masyarakat lokal yang bermukim di wilayah perairan umum (sungai).

Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya perairan umum, aspek ekologi dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perairan umum diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground, maupun nursery ground ikan.

Selain itu juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan dan perairan umum yang memiliki keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumberdaya di wilayah tersebut.

Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan nuansa baru pembangunan di daerah, maka upaya pemanfaatan dan pengembangan berbagai potensi daerah, termasuk potensi sumberdaya di wilayah perairan umum, mulai mendapat perhatian.

Perubahan paradigma pembangunan nasional dari pola sentralistik ke desentralistik atau istilah lainnya kebijakan perikanan berbasis otonomi daerah, maka sebagai konsekuensi pemerintah kabupaten/kota kini telah memiliki kewenangan (authority) yang lebih besar dalam sistem pengelolaan perikanan.

Dalam kebijakan pembangunan masyarakat di sekitar perairan umum, Pemerintah Daerah diharapkan akan berupaya untuk mengedepankan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat (local community), dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (community well-being), terutama rumah tangga perikanan.

Selain itu juga, perhatian terhadap hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sistem pengelolaan perikanan di perairan umum, dan kajian pola interaksi antar pemangku kepentingan (stakeholders) di wilayah tersebut, serta dampaknya terhadap komunitas rumah.tangga perikanan sudah saatnya menjadi perhatian.

Kemudian tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat perikanan bisa dikembangkan, dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan umum.

KEARIFAN LOKAL LUBUK LARANGAN INDARUNG

Masyarakat di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung sejak tahun 1982 melalui keputusan adat ninik mamak telah menetapkan sebagian wilayah aliran sungai tersebut sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan istilah lubuk larangan. Akan tetapi masyarakat masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai lubuk larangan.

Kawasan lubuk larangan Indarung berada di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung dengan panjang 1.500 meter dan lebar 35 meter dengan kedalaman sungai sekitar 3 sampai 5 meter

Peta Kawasan Lubuk Larangan Indarung
(Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Kuantan Singingi, 2008)

Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari Pasal 1 (30) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Keputusan ninik mamak tersebut awalnya tidak tertulis namun sejak tahun 2007 keputusan ninik mamak tersebut sudah dituangkan secara tertulis.

Selain itu juga guna mendukung kelestarian sumberdaya ikan di wilayah lubuk larangan, masyarakat melarang menebang pohon di sekitar lubuk larangan tersebut karena ikan-ikan yang ada di wilayah lubuk larangan sumber makanannya adalah daun-daun pohon yang jatuh.

Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuk larangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliran sungai. Wilayah yang relatif tenang aliran sungainnya ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan, sementara yang lebih cepat aliran sungainya tidak ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan

Pengetahuan lokal dalam penentuan batas wilayah tersebut menunjukan bahwa masyarakat setempat tahu bahwa ikan sebagian besar menyukai wilayah perairan yang relatif tenang. Secara ekologi, sumber makanan ikan tersebut lebih banyak di wilayah perairan sungai yang relatif lebih tenang.

Lubuk Larangan Wilayah bebas menangkap ikan
Batas Wilayah Lubuk Larangan Indarung (Sumber : Suhana, 2009)

Peraturan Adat Lubuk Larangan

Pengelolaan lubuk larangan sungai Indarung selama ini dilakukan oleh lembaga adat Ninik Mamak Pangkalan Indarung. Lembaga adat tersebut dipimpin oleh dua orang datuk, yaitu Datuk Bandaro dan Datuk Sutan Penghulu. Selain itu juga kedua datuk tersebut dibantu oleh lima orang penghulu yang berasal dari keturunan kedua datuk tersebut.

Pada tahun 2007 aturan adat lubuk larangan Indarung telah dikukuhkan dalam surat keputusan Ninik Mamak secara tertulis. Keputusan adat tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan di sungai Singingi dalam wilayah Desa Pangkalan Indarung. Aturan adat yang telah diputuskan oleh lembaga adat ninik mamak tersebut adalah : 1. Setiap pelaku menangkap ikan di kawasan lubuk larangan akan dikenakan sangsi Rp. 500.000 per ekor ikan; 2. Pembeli atau penadah dikenakan sangsi Rp. 500.000 per orang; 3. Apabila pelaku dan penadah tertangkap akan diproses oleh Dubalang Ninik Mamak untuk diselesaikan secara adat sesuai kemenakan mamak yang bersangkutan; 4. Apabila point 1 dan 2 dilakukan oleh ninik mamak, perangkat desa dan anggota Badan Perwakilan Desa dikenakan sangsi Rp. 1.000.000;

Dampak Lubuk Larangan

Secara ekologi dampak kearifan lokal lubuk larangan adalah mencegah kerusakan
lingkunga sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan.

Secara lengkap dampak ekologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Dampak Ekologis Lubuk Larangan Indarung

Secara ekonomi dampak penerapan lubuk larangan Indarung adalah : 1) Menjadi bagi masyarakat untuk meningkatkan rasa cinta dan kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya hayati perikanan; 2) Terbinanya kerukunan dan rasa kesetiakawanan sosial di lingkungan masyarakat tempatan dan dijadikan tradisi adat dalam acara “Mancuak/Panen’ sekali setahun, hasilnya dijadikan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial; 3) Terwujudnya lembaga sosial masyarakat melalui kelembagaan adat dalam upaya pelestarian sumberdaya hayati perikanan.

Sementara itu secara sosial budaya dampak penerapan lubuk larangan tersebut adalah : 1) Dapat menyediakan sumber protein bagi masyarakat desa Indarung melalui ketersediaan ikan-ikan lokal yang bisa dipanen sekali dalam setahun; 2) Tersedianya sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari bagi masyarakat sekitar; 3) Tersedianya sumber hayati perikanan ikan-ikan lokal yang dapat dijadikan sebagai
ekowisata

Pengakuan Lembaga Adat Ninik Mamak Pangkalan Indarung

Pada tahun 2007 keberadaan lembaga adat lubuk larangan Indarung tersebut diakui secara formal menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Lembaga Adat Pangkalan Indarung. Pengakuan formal tersebut tertuang dalam dua keputusan pemerintah daerah dan pemerintah desa, yaitu : 1) Surat keputusan Kepala Desa Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 70/PKL/2007 tentang Pengukuhan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Lembaga Adat Pangkalan Indarung; 2) Surat Keputusan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 523.4/SDH/505A tentang Pembentukan Kelompok Pengawas Masyarakat (POKMASWAS) Lembaga Adat Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi Bidang Penangkapan Ikan dan Perlindungan.

Dengan adanya pengakuan secara formal tersebut keberadaan lembaga adat tersebut menjadi lebih kuat secara hukum. Berdasarkan kedua keputusan pemerintah daerah tersebut, selain menerapkan aturan adat yang telah disepakati oleh Ninik Mamak, lembaga Adat Pangkalan Indarung memiliki tugas dan wewenang 1) Melakukan pengawasan terhadap kawasan yang dijadikan areal kawasan lubuk larangan; 2) Melakukan sosialisasi tentang perlunya menjaga kelangsungan hidup biota perairan khususnya jenis ikan-ikan lokal yang hampir punah; 3) Menjadikan kawasan lubuk larangan sebagai kawasan konservasi perairan umum; 4) Menjaga keragaman hayati seperti ikan-ikan lokal yang telah hampir punah

Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam kerangka otonomi daerah bentuk pengakuan keberadaan kearifan lokal dapat dilakukan melalui keputusan pemerintah daerah atau pemerintah desa. Bentuk pengakuan tersebut selain menjaga kelestarian kearifan lokal juga menghargai perjuangan masyarakat adat yang selama ini telah berperan banyak dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.(***)

7.000 Bibit Ikan Pawe Untuk Beringin Jaya

Bersamaan dengan kegiatan halal bi halal di Desa Suka Maju Kecamatan Singingi Hilir belum lama ini, Bupati Kuansing H Sukarmis didampingi Kepala Dinas Perikanana Ir Nasri menyerahkan 7.000 bibit ikan pawe. Bibit ini merupakan hasil pengembangbiakan bibit ikan di Balai Benih Ikan (BBI) Teso.

Usai penyerahan, Kepala Dinas Perikanan Ir Nasri mengatakan kalau di Desa Beringin Jaya Kecamatan Singingi Hilir memiliki bendungan yang bisa sebagai tempat pengembangbiakan ikan, jenis ikan yang diberikan ikan Pawe.

Bendungan ini sekali dalam setahun ternyata airnya dilepas dan masyarakat secara bersama menangkap ikan itu untuk kepentingan bersama sehingga keberadaan bibit ikan sangat diperlukan agar bermanfaat bagi masyarakat.

Kedepannya, bibit ikan lainnya seperti ikan puyu, kupiek juga akan diberikan kepada masyarakat agar jenis ikan itu juga banyak. (noprio sandi)

Bupati Kuansing H Sukarmis disaksikan Kepala Dinas Perikanan Ir. Nasri menyerahkan bibit ikan untuk masyarakat Desa Beringin Jaya Kecamatan Singingi Hilir. (noprio sandi)

Tugu Carano Dinilai Ganggu Lalin

PEKANBARU-Tugu Carano yang dibangun Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi dinilai akan menganggu lalu lintas. Pasalnya, empat unit tembok sebagai pegangan rangka besi menghalangi pandangan pengemudi.  Penilaian itu dikatakan Mardianto Manan, pengamat perkotaan ketika diminta tanggapannya soal pembangunan tugu carano yang terletak dibundaran simpang ke komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Kuansing tahun lalu.

 Disebutkannya dalam riaumandiri.net, tugu yang dibangun tahun 2009 itu sudah melanggar kaidah-kaidah lalu lintas. Seharusnya, empat unit tembok yang masih dibangun itu dihilangkan, supaya pengemudi bisa tembus pandang.

 Artinya, kata tokoh masyarakat Kuansing ini, pengendara dari arah Pekanbaru tidak akan melihat lawan dari Teluk Kuantan begitu juga sebaliknya. Begitu juga pengendara dari arah sport center menuju Kompleks Kantor Bupati, sehingga persimpangan tersebut rawan kecelakaan lalu lintas.

 Dalam estetika bangunan bundaran ditengah jalan, ketinggian temboknya hanya setinggi lampu kendaraan yang paling terendah, supaya mudah terlihat oleh pengendara dari berbagai arah, tidak seperti dibangun oleh Pemkab Kuansing.
 Ia mencontohkan pembangunan tugu 'mondek' di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Tuanku Tambusai, Pekanbaru berulang kali dirombak oleh Pemerintah Kota Pekanbaru.

 Hendaknya, Pemkab Kuansing harus bisa belajar dari kesalahan itu. Artinya, tugu yang dibangun Pemkab Kuansing harus sekali jadi dan tidak ada perombakan lagi.

 Contoh lain, kata dosen salah satu perguruan tinggi di Kuansing itu, Tugu Selamat Datang di Jakarta dan Tugu Air Mancur di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Dari semua arah dengan mudah pengendara bisa melihat pengendara lainnya, sehingga jarang terjadi kecelakaan.(***)

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENATAAN KELEMBAGAAN BUDAYA DAERAH TERTINGGAL

Dalam Rangka Rapat Koordinasi dan Fasilitasi Penataan Kelembagaan Budaya Daerah Tertinggal di Kuantan Singingi
Tanggal 30 Juni 2010

Oleh
Ir H Helfian Hamid, M.Si

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi

I.         Pendahulun
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) terus berupaya membangun dan mengembangkan masyarakat di daerah-daerah yang termasuk kategori tertinggal di Indonesia. Salah satunya dengan percepatan pembangunan sosial ekonomi daerah teringgal. Oleh sebab itu berbagai program dan kegiatan dilakukan oleh KNPDT diataranya Kegiatan Koordinasi dan Fasilitasi Penataan Kelembagaan Budaya Daerah Tertinggal ke Daerah seperti saat ini.
Untuk dapat mensukseskan percepatan pembangunan daerah tertinggal tersebut, perlu ditetapkan budaya daerah tertinggal. Namun demikian sebelum berbicara lebih lanjut tentang strategi dan kebijakan tersebut, perlu dipahami tentang pengertian Daerah Tertinggal dan kategori suatu daerah dikatakan sebagai daereh tertinggal.
Daerah tertinggal adalah: Daerah Kabupaten yang relative kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional.
Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang berkualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, diperlukan program pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibandingkan daerah lainnya.
Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, yaitu:
o        Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relative sulit dijangkau karena letaknya yang jauh dipedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena factor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
o        Sumber Daya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumber daya alam, daerah yang memiliki sumber daya alam besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan.
o        Sumber Daya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relative rendah serta kelembagaan adapt yang belum berkembang.
o        Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
o        Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
o        Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adapt dalam perencanaan dan pembangunan.
Berdasarkan kategori diatas, tentunya kita akan berfikir apakah Kabupaten Kuantan Singingi termasuk sebagai salah satu kategori daerah tertinggal di Provinsi Riau?.
Berdasarkan data Tahun 2009 (Riau Mandiri Online), “Di Riau jumlah kabupaten yang masih tergolong daerah tertinggal saat ini mencapai 2 kabupaten, antara lain Kuansing dan Rohul. Angka tersebut menurun. Sebelumnya ada tiga kabupaten termasuk satu diantaranya Inhil,” kata Menteri PDT Lukman Edi dalam Rakornas Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT) tahun 2009 di Hotel Pangeran, Pekanbaru, Selasa (24/3). Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah sekaligus pemicu bagi kita bersama untuk mempercepat pembangunan daerah kita sehingga tidak lagi dikategorikan sebagai daerah tertinggal pada tahun 2010.
Oleh sebab itu berbagai upaya harus kita lakukan dengan melibatkan semua sector yaitu: Perekonomian masyarakat, Sumber Daya Manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiscal), aksesibilitas dan karakteristik daerah termasuk penataan kelembagaan budaya daerah tertinggal.
II.       Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dilakukannya penataan kelembagaan budaya daerah adalah untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan budaya daerah tertinggal sehingga mempunyai nilai ekonomis yang mampu berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal.

III.     Strategi Kebiajkan Pemda Dalam Penataan Kelembagaan Budaya Daerah Tertinggal
Adapun Strategi  dan Kebijakan Pemda untuk dapat mewujudkan tujuan penataan kelembagaan daerah tertinggal meliputi 4 pilar strategi, yaitu;
1.  Peningkatan kemandirian masyarakat dan daerah,  yang dilakukan melalui kebijakan pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat dan penyediaan prasarana dan sarana pedesaan/lokal.
2.  Pengoptimalisasian pemanfaatan potensi wilayah,  yang dilakukan melalui kebijakan penyediaan informasi dan analisis potensi sumber daya alam, pemanfaatan teknologi, peningkatan kegiatan investasi, pemberdayaan dunia usaha dan UMKM, pengembangan kawasan produksi/pedesaan.
3.  Penguatan integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan maju, yang dilakukan melalui kebijakan penguatan jaringan ekonomi antar daerah, pembangunan jaringan sarana dan prasarana antar daerah, pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi daeah, dan pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi daerah; dan
4.  Peningkatan penanganan dareah tertinggal yang memiliki karakteristik khusus keterisolasian dan kerentanan sosial-ekonomi (rawan bencana, pedalaman, pesisir, perbatasan, dan pulau terpencil yang dilakukan melalui kebijakan penyediaan sarana sosial dasar, pemberdayaan komunitas adat terpencil, penyediaan bantuan subsidi pelayanan perintis dan pengembangan wilayah perbatasan.
Selanjutnya agar dapat menjalankan strategi tersebut diatas, maka pembangunan daerah teringgal sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah atau karifan lokal (adapt istiadat). Bagaimanapun juga ketertinggalan suatu daerah tersebut bersumber dari kondisi pedesaan. Apabila kondisi suatu pedesaan tersebut mengalami kekurangan dari segala sector  baik itu ekonomi, sosial-budaya, sarana dan prasarana maka sulit bagi daerah pedesaan tersebut untuk mengembangkan kelembagaan daerah. Apalagi sejak diberlakukan UU No 22 Tahun 1999, dimana telah terjadi pergeseran model pemerintah dari sentralistrik ke desentralisasi dan otonomi daerah yang menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah. Partisipasi dan kemandirian berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan atas prakarsa sendiri terutama masyarakat pedesaan sebagai centre comunitas. Oleh sebab itu paradigma strategi pembangunan daerah tertinggal yang sebelumnya berbasis kawasan perlu dirubah menjadi basis pedesaan, yang menjadikan desa sebagai basis perubahan, yang memiliki satu program yang konfrehensif sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghasilan yang pada akhirnya memungkinkan desa untuk menjadi maju dan berkembang.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka intervensi pembangunan pedesaan tersebut maka perlu memperhatikan secara mendalam tentang “anatomi desa” sehingga tidak kontraproduktif dan muncul resintensi dari masyarakat desa. Adapun untuk melihat anatomi desa tersebut, antara lain mencakup strutkur demografi masyarakat, karakteristik sosial-budaya, karakteristik fisik/geografis, Pola kegiatan usaha, pola keterkaitan ekonomi desa-kota, sector kelembagaan desa dan karakteristik kawasan pemukiman.
Sehubungan dengan itu ada beberapa azaz yang harus diperhatikan dalam pengembangan pedesaan tersebut, pertama, berorientasi pada masyarakat (people centered). Masyarakat di daerah tertinggal adalah pelaku (actors) dari kegiatan yang dilaksanakan sehingga hasil (out put) dan dampaknya (outcome) dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat.
Kedua, berwawasan lingkungan (environementallu sound). Pelaksanaan kegiatan harus berwawasan lingkungan secara berkelanjutan (sustainability) sehingga perlu pertimbangan dampak kegiatan terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat baik untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Ketiga, sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat (cultural appronate). Pengembangan kegiatan berorientasi pada kondisi dan kebutuhan masyarakat perlu memperhatikan adapt istiadat dan budaya yang telah dikembangkan sebagai suatu kearifan tradisional (traditional wisdom).
Keempat, sesuai kebutuhan masyarakat (socially accepted), yakni dilakukan berdasarkan kebutuhan daerah dan masyarakat penerima dan bukan berdasarkan asas pemerataan dimana setiap daerah berhak atas bantuan pendanaan pemerintah.
Kelima, tidak diskriminatif (undiscriminative). Pelaksanaan kegiatan di wilayah tetangga tertinggal perlu menerapkan prinsip tidak diskriminatif baik dari segi SARA maupun gender.
Oleh sebab itu peranana Pemerintah Daerah sangat penting dalam kegiatan percepatan pembangunan dareah tertinggal terutama penguatan kelembagaan budaya daerah tertinggal dengan memperhatikan karifan lokal. Bagaimanapun juga pembangunan pedesaan tidak terlepas dari adapt istiadat masyarakat itu sendiri. Pemda harus memfasilitasi kebutuhan masyarakat pedesaan yang tidak berbenturan dengan adapt istiadat masyarakat setempat terutama yang berkaitan dengan pengembangan kebudayaan, sehingga kebudayaan daerah tersebut mempunyai nilai ekonomis yang mampu dijual, diberdayagunakan dan bahkan mempu menjadi industri budaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya juga mampu menjadi salah satu sumber pendapatan daerah.
Dalam rangka meningkatkan peran pemda dalam penataan kelembagaan budaya daerah tertinggal, maka pemda perlu mengambil berbagai langkah kebijakan, diantaranya:
  1. Memfasilitasi kebutuhan masyarakat dalam hal usulan pembangunan dan pengembangan kebudayaan
  2. Membentuk sarana dan prasarana pendukung pengembangan kebudayaan masyarakat setempat
  3. Memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada pelaku budaya yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mampu secara mamndiri menjadikan hasil kebudayaannya mempunyai nilai seni dan nilai ekonomis serta menghasilkan industri budaya.
  4. Melakukan kegiatan penanaman nilai-nilai budaya kepada generasi muda sehingga budaya daerah tersebut dapat terus dilestarikan.
  5. Melakukan koordinasi dengan dinas-dinas terkait lainnya seperti dinas pariwisata, dinas perindustrian dan pedagangan dan koperasi dalam rangka pengembangan dan pembinaan serta promosi kebudayaan.
  6. Mendorong partisipasi pihak lain yang berkompeten dalam upaya penguatan kelembagaan budaya daerah, seperti pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi untuk pengembangan dan kreasi kebudayaan.
  7. Menkoordinasikan dan memfasilitasi pertemuan para pemuka masyarakat adat untuk menyamakan visi penguatan kelembagaan adat.
  8. Melakukan koordinasi dan lobi dengan pemerintah pusat untuk dapat memberikan bantuan dana yang lebih besar untuk pengembangan kebudayaan.
  9. Mensingkronkan penataan kelembagaan daerah dengan kearifan lokal atau adat istiadat setempat.
Untuk dapat menjalankan berbagai kebijakan tersebut diatas, Pemda secara rutin setiap tahunnya telah menganggarkan dana dalam APBD Kabupaten Kuantan Singingi untuk pengembangan kebudayaan ini melalui satker terkait yaitu Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga. Tahun 2010 pemda menganggarkan APBD sebesar Rp 139.284.500 untuk pengembangan nilai budaya dan pengelolaan keragaman budaya. Sebagai lembaga yang membidangi perencanaan pembangunan daerah, maka Bappeda eksis akan selalu berupaya untuk meningkatkan anggaran pengembangan kebudayaan ini dari tahun ke tahun sehingga mampu menjadi industri budaya.
IV.     Permasalahan
1.        Terbatasnya anggaran Pemda untuk pengembangan dan penataan kelembagaan budaya daerah
2.        Tidak singkronnya program penataan kelembagaan budaya daerah dari KNPDT dengan kearifan lokal (adat istiadat) masyarakat setempat
3.        belum terkoordinasinya dengan baik pengelolaan kelembagaan daerah diantaranya masing-masing satker yang terkait serta masing-masing pemuka adat
4.        Kurangnya perhatian dan kerjasama pihak swasta dalam pengembangan kebudayaan daerah termasuk untuk penyediaan pangsa pasar budaya.
5.        Sasaran pengembangan budaya yang masih bersifat sekedar kultur/adat istiadat masyarakat setempat
V.       Solusi dan Saran
1.        Mengharapkan agar semua satker terkait dengan penguatan kelembagaan budaya daerah tertinggal agar dapat saling bekerja sama untuk pengembangan kebudayaan daerah tertinggal agar dapat saling bekerjasama untuk pengembangan kebudayaan dan mampu menghasilkan industri budaya.
2.        Mengharapkan kepada dinas pariwisata agar lebih sering melakukan koordinasi dan lobi dengan pemerintah pusat baik itu KNPDT maupun Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata untuk mendapatkan dana bantuan pengembangan kebudayaan yang lebih besar dan untuk mensingkronkan program KNPDT dengan kearifan lokal.
3.        Perlu dilakukannya pertemuan rutin antara pemuka masyarakat adat yang beraneka ragam di Kabupaten Kuantan Singingi untuk menyatukan visi pengembangan kebudayaan dengan pemda
4.        Perlunya meningkatkan anggaran pengembangan dan pengelolaan keragaman budaya sehinngga dapat menjadi paket budaya yang lebih ekonomis
5.        Perlunya memfasilitasi promosi dan penyediaan pangsa pasar untuk hasil-hasil kerajinan dan potensi budaya
VI.     Kesimpulan
Keberhasilan pembangunan kelembagaan budaya daerah tertinggal sangat ditentukan oleh kerjasama dan koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat dan pihak swasta dalam memberdayakan masyarakat pedesaan untuk mandiri dan menjadikan kebudayaan daerah sebagai industri budaya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila suatu daerah tersebut mampu menjadikan kelembagaan budayanya menjadi industri budaya, yang mempunyai nilai ekonomis yang bisa didayagunakan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan pertumbuhan ekonomi daerahnya.