Oleh
Suhana,
Blog : http://suhana-ocean.blogspot.com. 7/24/2008
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI Periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 Bidang Kelautan dan Perikanan, Kepala Riset pada Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM)
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (social well-being) secara berkelanjutan, terutama komunitas masyarakat lokal yang bermukim di wilayah perairan umum (sungai).
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya perairan umum, aspek ekologi dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perairan umum diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground, maupun nursery ground ikan.
Selain itu juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan dan perairan umum yang memiliki keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumberdaya di wilayah tersebut.
Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan nuansa baru pembangunan di daerah, maka upaya pemanfaatan dan pengembangan berbagai potensi daerah, termasuk potensi sumberdaya di wilayah perairan umum, mulai mendapat perhatian.
Perubahan paradigma pembangunan nasional dari pola sentralistik ke desentralistik atau istilah lainnya kebijakan perikanan berbasis otonomi daerah, maka sebagai konsekuensi pemerintah kabupaten/kota kini telah memiliki kewenangan (authority) yang lebih besar dalam sistem pengelolaan perikanan.
Dalam kebijakan pembangunan masyarakat di sekitar perairan umum, Pemerintah Daerah diharapkan akan berupaya untuk mengedepankan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat (local community), dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (community well-being), terutama rumah tangga perikanan.
Selain itu juga, perhatian terhadap hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sistem pengelolaan perikanan di perairan umum, dan kajian pola interaksi antar pemangku kepentingan (stakeholders) di wilayah tersebut, serta dampaknya terhadap komunitas rumah.tangga perikanan sudah saatnya menjadi perhatian.
Kemudian tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat perikanan bisa dikembangkan, dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan umum.
KEARIFAN LOKAL LUBUK LARANGAN INDARUNG
Masyarakat di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung sejak tahun 1982 melalui keputusan adat ninik mamak telah menetapkan sebagian wilayah aliran sungai tersebut sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan istilah lubuk larangan. Akan tetapi masyarakat masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai lubuk larangan.
Kawasan lubuk larangan Indarung berada di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung dengan panjang 1.500 meter dan lebar 35 meter dengan kedalaman sungai sekitar 3 sampai 5 meter
Peta Kawasan Lubuk Larangan Indarung
(Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Kuantan Singingi, 2008)
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari Pasal 1 (30) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keputusan ninik mamak tersebut awalnya tidak tertulis namun sejak tahun 2007 keputusan ninik mamak tersebut sudah dituangkan secara tertulis.
Selain itu juga guna mendukung kelestarian sumberdaya ikan di wilayah lubuk larangan, masyarakat melarang menebang pohon di sekitar lubuk larangan tersebut karena ikan-ikan yang ada di wilayah lubuk larangan sumber makanannya adalah daun-daun pohon yang jatuh.
Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuk larangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliran sungai. Wilayah yang relatif tenang aliran sungainnya ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan, sementara yang lebih cepat aliran sungainya tidak ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan
Pengetahuan lokal dalam penentuan batas wilayah tersebut menunjukan bahwa masyarakat setempat tahu bahwa ikan sebagian besar menyukai wilayah perairan yang relatif tenang. Secara ekologi, sumber makanan ikan tersebut lebih banyak di wilayah perairan sungai yang relatif lebih tenang.
Lubuk Larangan Wilayah bebas menangkap ikan
Batas Wilayah Lubuk Larangan Indarung (Sumber : Suhana, 2009)
Peraturan Adat Lubuk Larangan
Pengelolaan lubuk larangan sungai Indarung selama ini dilakukan oleh lembaga adat Ninik Mamak Pangkalan Indarung. Lembaga adat tersebut dipimpin oleh dua orang datuk, yaitu Datuk Bandaro dan Datuk Sutan Penghulu. Selain itu juga kedua datuk tersebut dibantu oleh lima orang penghulu yang berasal dari keturunan kedua datuk tersebut.
Pada tahun 2007 aturan adat lubuk larangan Indarung telah dikukuhkan dalam surat keputusan Ninik Mamak secara tertulis. Keputusan adat tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan di sungai Singingi dalam wilayah Desa Pangkalan Indarung. Aturan adat yang telah diputuskan oleh lembaga adat ninik mamak tersebut adalah : 1. Setiap pelaku menangkap ikan di kawasan lubuk larangan akan dikenakan sangsi Rp. 500.000 per ekor ikan; 2. Pembeli atau penadah dikenakan sangsi Rp. 500.000 per orang; 3. Apabila pelaku dan penadah tertangkap akan diproses oleh Dubalang Ninik Mamak untuk diselesaikan secara adat sesuai kemenakan mamak yang bersangkutan; 4. Apabila point 1 dan 2 dilakukan oleh ninik mamak, perangkat desa dan anggota Badan Perwakilan Desa dikenakan sangsi Rp. 1.000.000;
Dampak Lubuk Larangan
Secara ekologi dampak kearifan lokal lubuk larangan adalah mencegah kerusakan
lingkunga sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan.
Secara lengkap dampak ekologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Dampak Ekologis Lubuk Larangan Indarung
Secara ekonomi dampak penerapan lubuk larangan Indarung adalah : 1) Menjadi bagi masyarakat untuk meningkatkan rasa cinta dan kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya hayati perikanan; 2) Terbinanya kerukunan dan rasa kesetiakawanan sosial di lingkungan masyarakat tempatan dan dijadikan tradisi adat dalam acara “Mancuak/Panen’ sekali setahun, hasilnya dijadikan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial; 3) Terwujudnya lembaga sosial masyarakat melalui kelembagaan adat dalam upaya pelestarian sumberdaya hayati perikanan.
Sementara itu secara sosial budaya dampak penerapan lubuk larangan tersebut adalah : 1) Dapat menyediakan sumber protein bagi masyarakat desa Indarung melalui ketersediaan ikan-ikan lokal yang bisa dipanen sekali dalam setahun; 2) Tersedianya sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari bagi masyarakat sekitar; 3) Tersedianya sumber hayati perikanan ikan-ikan lokal yang dapat dijadikan sebagai
ekowisata
Pengakuan Lembaga Adat Ninik Mamak Pangkalan Indarung
Pada tahun 2007 keberadaan lembaga adat lubuk larangan Indarung tersebut diakui secara formal menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Lembaga Adat Pangkalan Indarung. Pengakuan formal tersebut tertuang dalam dua keputusan pemerintah daerah dan pemerintah desa, yaitu : 1) Surat keputusan Kepala Desa Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 70/PKL/2007 tentang Pengukuhan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Lembaga Adat Pangkalan Indarung; 2) Surat Keputusan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 523.4/SDH/505A tentang Pembentukan Kelompok Pengawas Masyarakat (POKMASWAS) Lembaga Adat Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi Bidang Penangkapan Ikan dan Perlindungan.
Dengan adanya pengakuan secara formal tersebut keberadaan lembaga adat tersebut menjadi lebih kuat secara hukum. Berdasarkan kedua keputusan pemerintah daerah tersebut, selain menerapkan aturan adat yang telah disepakati oleh Ninik Mamak, lembaga Adat Pangkalan Indarung memiliki tugas dan wewenang 1) Melakukan pengawasan terhadap kawasan yang dijadikan areal kawasan lubuk larangan; 2) Melakukan sosialisasi tentang perlunya menjaga kelangsungan hidup biota perairan khususnya jenis ikan-ikan lokal yang hampir punah; 3) Menjadikan kawasan lubuk larangan sebagai kawasan konservasi perairan umum; 4) Menjaga keragaman hayati seperti ikan-ikan lokal yang telah hampir punah
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam kerangka otonomi daerah bentuk pengakuan keberadaan kearifan lokal dapat dilakukan melalui keputusan pemerintah daerah atau pemerintah desa. Bentuk pengakuan tersebut selain menjaga kelestarian kearifan lokal juga menghargai perjuangan masyarakat adat yang selama ini telah berperan banyak dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.(***)
7.000 Bibit Ikan Pawe Untuk Beringin Jaya
Bersamaan dengan kegiatan halal bi halal di Desa Suka Maju Kecamatan Singingi Hilir belum lama ini, Bupati Kuansing H Sukarmis didampingi Kepala Dinas Perikanana Ir Nasri menyerahkan 7.000 bibit ikan pawe. Bibit ini merupakan hasil pengembangbiakan bibit ikan di Balai Benih Ikan (BBI) Teso.
Usai penyerahan, Kepala Dinas Perikanan Ir Nasri mengatakan kalau di Desa Beringin Jaya Kecamatan Singingi Hilir memiliki bendungan yang bisa sebagai tempat pengembangbiakan ikan, jenis ikan yang diberikan ikan Pawe.
Bendungan ini sekali dalam setahun ternyata airnya dilepas dan masyarakat secara bersama menangkap ikan itu untuk kepentingan bersama sehingga keberadaan bibit ikan sangat diperlukan agar bermanfaat bagi masyarakat.
Kedepannya, bibit ikan lainnya seperti ikan puyu, kupiek juga akan diberikan kepada masyarakat agar jenis ikan itu juga banyak. (noprio sandi)
Bupati Kuansing H Sukarmis disaksikan Kepala Dinas Perikanan Ir. Nasri menyerahkan bibit ikan untuk masyarakat Desa Beringin Jaya Kecamatan Singingi Hilir. (noprio sandi)