Selasa, 14 Juni 2011

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Beri Informasi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Arkeologi

TELUKKUANTAN-Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Wilayah Kerja Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Kami berupaya untuk lebih dekat dengan masyarakat dalam memberi informasi tentang pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi, atau dalam bahasa hukum disebut sebagai Benda Cagar Budaya (BCB).

Dalam www.bp3batusangkar.com disebutkan hampir sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki beraneka macam tinggalan budaya materi atau lebih akrab disapa benda cagar budaya (BCB). Sebut saja masjid, benteng kolonial, gereja, candi, menhir, dan sebagainya yang tersebar di pelosok negeri.

Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses penghunian wilayah di Indonesia yang meliputi beberapa periode yang di dalam ilmu arkeologi dikenal sebagai masa prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan Kolonial. Masing-masing periode tersebut telah memberikan kepada bangsa Indonesia aneka bentuk budaya materi yang harus dilestarikan oleh semua pihak karena pada hakekatnya BCB adalah milik masyarakat."

Benda Cagar Budaya dengan dengan nilai-nilai kesejarahan yang dimilikinya dari waktu ke waktu, merupakan rangkaian warisan budaya yang menjadi daya tarik yang perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan bijaksana. Tinggalan budaya bendawi yang diterima dari generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk BCB masa datang lebih berkualitas.

Dalam pasal 18 ayat (1) UU RI No. 5/1992 Tentang BCB disebutkan bahwa pengelolaan warisan budaya adalah tanggung jawab pemerintah; tetapi masyarakat, kelompok, atau perorangan berperan serta di dalamnya. Dalam hal pemanfaatan, pasal yang paling banyak dirujuk adalah pasal 19 ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan BCB, yaitu: “Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan” . Kalimat ini jelas memberi peluang kepada pemerintah khususnya, untuk mengembangkan BCB dan situs untuk tujuan ekonomik (pariwisata), akademik (ilmu pengetahuan), maupun ideologik (agama, sosial, pendidikan, kebudayaan).

Isu inti dari UU BCB pada dasarnya adalah kelestarian, sehingga pemanfaatan dalam bentuk apapun semestinya tetap berada di dalam kerangka misi pelestarian BCB, termasuk pemanfaatan BCB sebagai objek wisata. Memang sudah menjadi persoalan klasik antara pelestarian BCB dengan pemanfaatannya sebagai ODTW. Pelestarian dan pemanfaatan dalam beberapa aspek tampak berseberangan, meskipun sebenarnya memiliki hubungan yang resiprokal. Adanya konflik klasik antara pandangan yang beranggapan bahwa warisan budaya sebagai aset nasional yang tidak tergantikan ( irreplaceable ) dengan pandangan yang beranggapan bahwa warisan budaya sebagai komoditi yang dapat dikonsumsi; atau antara permintaan untuk mengakses warisan budaya sebagai atraksi, dengan yang membatasi akses untuk menjaga dampak terhadap warisan budaya.

Pada masa otonomi daerah saat ini, dimana Pemerintah Daerah Otonom mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya didominasi oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa daerah otonom terlibat dalam pelestarian benda cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian benda cagar budaya oleh daerah otonom sering kali tidak sesuai yang diharapkan.

Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai ( living monument ). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya.

Otonomi daerah telah merubah banyak hal tidak terkecuali dalam hal pelestarian benda cagar budaya. Sejak turunnya PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, maka PP No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak relevan lagi. Pelestarian benda cagar budaya telah menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pada sisi lain, BP3 Batusangkar sebagai UPT Kementerian Budpar yang mewakili pemerintah pusat di daerah berusaha memahami perubahan pengaturan yang ada serta realitas-realitas yang muncul dari berbagi daerah terkait dengan pengelolaan benda cagar budaya. Peran BP3 Batusangkar di dalam pengelolaan benda cagar budaya, yang secara administrasi berada di wilayah kewenangan pemerintah daerah bersifat koordinatif dan konsultatif. Koordinasi dengan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang memiliki benda cagar budaya serta kewenangan pengelolaanya, dilakukan untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya melalui tata cara dan kaidah-kaidah sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Koordinasi tidak harus dipahami sebagai prosedur perijinan dan pemberitahuan tetapi harus dipahami sebagai suatu mekanisme dalam upaya monitoring pelaksanaan kegiatan dan hasil yang diharapkannya. Pelaksanaan kegiatan pelestarian benda cagar budaya diupayakan sesuai dengan peraturan perundangan maupun prinsip-prinsip pelestarian yang berlaku selama ini. Dengan mengikuti peraturan peraturan perundangan dan prinsip-prinsip pelestarian yang ada diharapkan hasil akhir kegiatan pelestarian dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Hal ini tentunya akan sangat memberikan rasa kepuasan dan kenyamanan bagi pihak pelaksana kegiatan, pemilik benda cagar budaya, masyarakat penikmat benda cagar budaya, dan seluruh pihak yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan benda cagar budaya dan kemanfaatan yang ditimbulkannya.

Akhirnya, melalui media website ini, kami berharap akan memberikan kedekatan antara BP3 Batusangkar dengan masyarakat khalayak di dalam mengapresiasi dan peran serta di dalam upaya melestarikan dan memanfaatkan tinggalan budaya yang ada di sekitar kita. Terlebih dari itu, kami berharap masyarakat akan aktif memberi umpan balik secara langsung lewat media ini demi keberlangsungan benda cagar budaya warisan nenk moyang kita.(nopriosandi/bp3batusangkar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar