Sepintas, Desa Jake Kecamatan Kuantan Tengah terlihat modern, berada di pinggir jalan pada ruas jalan nasional Teluk Kuantan-Pekanbaru. Namun untuk urusan masyarakat yang meninggal, ternyata desa ini masih menskralkan bunyi gong untuk memberitahukan kepada masyarakat.
Bendera putih pertanda kematian itu telah terpasang disalah satu rumah masyarakat di Desa Jake Jum’at (30/9) lalu, ternyata masyarakat telah datang beramai-ramau ke rumah ini melayat, termasuk anggota DPRD Kuansing Andi Nurbai, SP yang berdomisili di desa itu. “Saya mau ke kantor dulu, ada sidang paripurna,” ujarnya sambil berlalu, meski sibuk, tapi menyempatkan diri untuk singgah.
Andel, salah seorang warga berprofesi sebagai guru di Teluk Kuantan mengurungkan niatnya sementara pergi mengajar dan melayat kerumah warga tersebut yang telah datang bersama masyarakat lainnya.
Ternyata, mereka telah saling mengetahui sejak dini hari kalau ada warga mereka yang telah meninggal dunia sejak malam hari atau mengalami kematian disore harinya dan akan dikebumikan pada siang harinya.
Diketahui sejak dini hari tersebut menurut Apen, setelah mendengarkan bunyi gong pada dini hari, sehingga warga yang berencana pergi ke kebun atau bekerja membatalkan niatnya, melainkan melayat kerumah duka.
Ternyata, gong tersebut telah dibunyikan saat tengah malam di atas sebuah bukit desa itu, untuk yang meninggal telah berusia lanjut, pukulan gong dibunyikan sebanyak 33 kali, untuk yang anak-anak atau usia yang muda, jumlah pukulan gong itu lebih sedikit, sebagai pertanda usia yang meninggal.
Anehnya, bunyi gong tersebut bisa memberitahukan kepada seluruh masyarakat yang ada di desa itu, padahal desa tersebut sangat panjang dan luas.
Ternyata gong dimaksud, telah disakralkan oleh masyarakat menjadi gong pemberitahu kematian kepada masyarakat, kondisi ini yang telah dilaksanakan oleh leluhur mereka sejak dahulu. “Kalau dulunya, yang tukang bunyikan gong itu ninik mamak, tapi kalau sekarang kadang kala dibunyikan saja oleh keluarga yang meninggal, sehingga gong sering rusak,” kata Ati salah seorang pemilik warung di desa itu.
Meski gong itu tidak lagi gong yang asli, masyarakat tetap mempertahankan gong tanpa pengeras suara sebagai pemberitahu kepada masyarakat pertanda ada kematian.”Pernah dialihkan kepada menyampaikan pengumuman di mesjid, masyarakat tidak terbawa olehnya (tidak datang, red), karena waktu itu gong rusak, maka dibeli gong yang baru lagi, baru masyarakat datang ke rumah duka jika gong ini di bunyikan,” kata Ati.
Sakralnya gong ini menurut sejumlah masyarakat disana, kadang kala jika gong dibunyikan bisa sampai beberapa hari, masyarakat desa itu ada yang meninggal dunia.
Terbukti memang, pada saat yang sama, desa itu harus mengurus dua orang jenazah, setelah satu orang meninggal dunia, ternyata meninggal lagi seorang, maka masyarakat menggali dua kuburan yang berada ditengah perkampungan. (noprio sandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar