Selasa, 15 Maret 2011
Oleh Ilham Bintang*), yang dikutip dari Antaranews
*) Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id; twitter: @ilham_bintang) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).
Jakarta - Bukan hanya Jepang yang guncang kena gempa pada Jumat (11/3) pekan lalu, tetapi juga ada "gempa" bagi Indonesia. Guncangan di Jepang akibat gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter (SR) diikuti gelombang air pasang laut (tsunami), Musibah yang memporakporandakan sebagian Negeri Sakura itu mencatat angka kematian diperkirakan mencapai belasan ribu warga.
Adapun "gempa" di Indonesia akibat pemberitaan dua media Australia, The Age (TA) dan The Sidney Morning Herald (TSMH), yang menyiarkan berita mengenai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), istri dan keluarganya menyalahgunakan kekuasaan (Abuse of Power). Tuduhan yang amat serius ialah intervensi SBY di bidang hukum. Salah satunya perintah penghentian investigasi kasus korupsi politikus Taufik Kiemas, suami Presiden RI periode 2001-2004 Megawati Soekarnoputri, yang kini berkedudukan sebagai Ketua MPR RI.
Menghadapi tuduhan serius itu wajar jika Presiden SBY bereaksi secara serius pula. Malah, seperti diberitakan luas oleh media massa, Ibu Negara Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono sampai tidak tahan untuk menangis saat diberitakan ikut dalam penyalahgunaan kekuasaan bersama suaminya.
Kita pun menganggap tuduhan dua media Australia tersebut merusak reputasi Presiden SBY yang sejak awal mencanangkan pemerintahan bersih, anti-korupsi dan intervensi. Keberhasilan SBY terpilih dua kali untuk menjadi Presiden jelas karena tekadnya dipercayai rakyat akan dilaksanakan secara konsisten. Justru itulah yang dirontokkan TA dan TSMH. Siapa yang tak geram?
Protes pun dilancarkan kepada pihak-pihak yang terkait dengan pemberitaan tersebut. Pertama, pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) di Jakarta. Sinyalemen penyalahgunaan kekuasaan itu memang bersumber dari mereka, berdasar kawat diplomatik ke Washington, yang berhasil disadap, kemudian dibocorkan melalalui laman (situs Internet) WikiLeaks. Pihak kedua, kepada pihak TA dan TSMH yang menjadikan dokumen itu sebagai bahan berita. Protes itu memang segera ditanggapi semua pihak tadi.
Pihak AS menyampaikan penyesalan dalam konferensi pers di Jakarta. Dubes AS di Indonesia, Scott Marciel mengatakan, "Kami mengungkapkan penyesalan terdalam kepada Presiden Yudhoyono dan warga Indonesia karena publikasi dari kawat-kawat diplomatik sangat tidak bertanggung jawab."
Ia menambahkan, secara umum kawat-kawat diplomatik mengandung informasi yang apa adanya dan seringkali masih mentah. Juga kerap tidak lengkap dan belum terbukti kebenarannya. Adapun TA dan TSMH langsung memuat sanggahan Presiden SBY pada penerbitan edisi cetak pada Sabtu, 12 Maret 2011.
Selesaikah persoalan? Tidak. Penyesalan Dubes AS dan pemuatan sanggahan TA dan TSMH tidak menjawab substansi masalah. Dengan kata lain, tidak membantah tuduhan serius kepada Presiden SBY dan keluarganya.
Sumber berita dua media Australia itu adalah WikiLeaks, situs yang menyadap kawat-kawat diplomatik dari Kedubes AS seluruh dunia untuk dilaporkan ke Washington. Pernyataan Dubes AS tidak membantah kawat seperti itu pernah dibuat. Hanya disebutkan secara umum "kerap kawat-kawat seperti itu" mengandung informasi apa adanya dan seringkali masih mentah yang juga karena tidak lengkap dan belum terbukti kebenarannya. Pertanyaan mendasar ke dalam golongan manakah kawat- kawat diplomatik tentang Presiden SBY itu?
Media TA dan TSMH jelas salah, menyalahi prinsip kerja jurnalistik secara universal yang dikenal dengan istilah cover bothsides. Media itu tidak memberi ruang klarifikasi kepada pihak-pihak yang dituduh/dirugikan, dalam pemberitaannya, dalam hal ini Presiden SBY dan keluarganya. Bahkan, tidak tampak usahanya dua media itu menghubungi pihak terkait sebelum berita itu disiarkan. Jelas berita itu jenis berita "tubruk lari", walau telah memberikan ruang bagi Presiden SBY untuk memberi sanggahan atau hak jawabnya.
Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, harus mengerahkan kemampuan diplomatiknya untuk menuntut kepada Dubes AS dan pimpinan dua media Australia itu untuk memberi bantahan secara spesifik. Misalnya, kawat-kawat diplomatik khusus mengenai Presiden SBY yang mereka buat adalah rumor belaka. Dan, pengakuan itu harus dimuat oleh dua media Australia tersebut. Itulah sanggahan efektif yang bisa diharapkan meredam "gempa" informasi di Tanah Air.
Jika tidak, maka kawat-kawat diplomatik mengenai Presiden SBY adalah sebuah kebenaran bagi mereka, meski kita menganggapnya tidak. Benar atau tidak WikiLeaks yang dikutipnya, TA dan TSMH tetap menyalahi kaidah jurnalistik secara universal. Tetapi, pelanggaran itu tidak otomatis dapat diartikan sebagai apa yang disajikan WikiLeaks adalah isapan jempol belaka.
Dokumen WikiLeaks dengan pemberitaan media TA dan TSMH adalah dua hal berbeda. Herannya, kebanyakan media pers di Indonesia menganggap itu satu hal, sehingga kasus tersebut tidak menjadi topik nasional. Inilah yang diributkan warga di ranah media jejaring sosial twitter (twitterland) yang menganggap pers kita kurang jeli, dan penakut untuk ungkapkan kebenaran. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar